AMERIKA, SEDULANGDOTCOM — Indonesia yang menjadi salah satu negara berkembang disebut-sebut akan mendapatkan imbas negatif terhadap kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS).
Sosok Donald Trump dikhawatirkan akan membuat seret aliran modal asing ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dampaknya, nilai tukar dolar AS diprediksi akan makin kuat, menekan nilai tukar rupiah.
Head of Markets and Securities Services HSBC Indonesia Ali Setiawan berpandangan, kemenangan Trump itu memunculkan fenomena risk-off yakni menghindari risiko dengan melepas mata uang yang berisiko di kalangan investor.
“Setelah pengumuman kemenangan Trump pada November 2024, The Fed (bank sentral AS) memutuskan memperlambat laju penurunan suku bunga. Dengan ketidakpastian ini, investor asing akan cenderung melarikan modalnya pada aset-aset safe haven seperti emas atau dolar AS.
Hal ini memicu capital outflow atau berpindahnya modal asing dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia, secara besar-besaran,” paparnya dalam Media Briefing HSBC: Indonesia & Asia (Investment & Economic) Outlook 2025, Kamis (9/1).
Pada September hingga Oktober 2024, rupiah sejatinya menguat ke level Rp15 ribuan per dolar AS. Penguatan itu tak lepas dari ekspektasi pasar terhadap rencana The Fed yang akan memangkas suku bunga lebih dalam.
AKibat nilai tukar dolar AS yang melemah itu, kata Ali, aliran modal asing yang masuk ke Indonesia mencapai Rp100 triliun.
“Tapi kalau sekarang kita lihat suku bunga yang masih di sini-sini saja, mungkin dana yang masuk ke Indonesia tidak akan deras. Tendensi airan modal asing ke negara berkembang akan cepat menurun. Dampaknya ke rupiah akan terus tertekan di Rp16 ribuan,” ujarnya.
Tren pelemahan rupiah, sambungnya, juga karena masalah fundamental yakni bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat Indonesia yang masih terus dipenuhi oleh impor. Dengan begitu, kebutuhan akan dolar AS semakin kuat dan itu membuat rupiah semakin tertekan.
“Jadi, ini tergantung dari demand and supply, atau yang beli dan jual. Kalau tiap hari kita impor makanan dan lainnya, itu semua dibeli dengan dolar AS. Sementara kalau ekspor, tidak semua itu ditukarkan ke rupiah,” ucapnya.
Kendati demikian, Chief Investment Officer, Southeast Asia for Private Banking and Wealth Management HSBC James Cheo memperkirakan pertumbuhan ekonomi di enam besar negara ASEAN (ASEAN-6) akan mencapai 4,8% di 2025. Angka itu lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN, yaitu 4,4%.
“Ini karena sekitar 60% dari total ekonomi ASEAN berasal dari konsumsi masyarakat. Hal ini diharapkan dapat mengurangi risiko penurunan ekspor di tengah ketidakpastian perdagangan global di 2025,” ucapnya.
Di ASEAN, negara-negara yang berhubungan kuat dengan ekspor teknologi terkait kecerdasan buatan (AI) akan menikmati siklus pertumbuhuan teknologi global yang sedang berlangsung. Ekonomi ASEAN tetap menjadi penerima manfaat dan pergeseran arus perdagangan dan reorientasi rantai pasokan yang didorong oleh pembatasan perdagangan AS dan tarif pada Tiongkok. (**)