Oleh: Raja’Wali Sandikala
_______
PARA leluhur nusantara selalu melakukan gerakan perubahan dengan sifat pendidikan dan pembudayaan yang holistik, agar pemikiran yang disampaikan maupun yang dihasilkan merupakan rangkaian yang menyeluruh pemahaman multikultur dan spritual atas, jiwa dan raga, jasmani dan rohani, alam lingkungan semesta dengan spiritualitasnya pada Tuhan Yang Maha Pencipta semesta alam, sehingga dapat menjadi bekal generasi masa depan.
Aktivitas nalar berpikir terdidik dan berbudaya oleh sumber ilmu pengetahuan multikultur yang berlandaskan spritualisme ini tercermin dalam bentuk hasil pemikiran dan aktualisasi keselarasan tindakan leluhur nusantara yang sudah maju, baik berbagai karya seni budaya adi luhung dalam khasanah warisan budaya (Cultural heritage), yang kemajuannya ini dapat kita lihat di berbagai bidang seperti seni pertunjukan tari, pedalangan, pewayangan, candi, arsitektur, berbagai manuskrip karya sastra, artefak, ilmu pengobatan (jamu/herbal), seni tradisi berpakaian, kuliner makanan, astronomi, dan banyak lainnya. Hingga sampai ke ranah kepemimpinan pun di atur dengan sangat baik oleh para leluhur, sehingga tertatalah kehidupan yang arif dan bijaksana dalam sistem sosial masyarakat yang kompleks.
Akan tetapi sangat disayangkan, hasil pemikiran adi luhung khasanah warisan budaya (Cultural heritage) tersebut tidak bisa dipelajari, apalagi dipahami secara maksimal oleh generasi sekarang, sebab pernah terjadi suatu peristiwa yang bernama “Geger Sepehi di tahun 1812, yang mana peristiwa ini telah berhasil merampas 7200 lebih manuskrip, dan 57.000 metrik ton emas Keraton Yogya di masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono ke II oleh pihak kolonialisme Inggris.
Oleh sebab itu, dari sudut pandang Rahadian Rundjan, seorang peneliti di DWnesia mengatakan, kolonialisme bukan hanya menjarah tanah jajahan mereka. Mereka bukan hanya melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam Indonesia, semisal rempah- rempah, teh, kopi, dan lain-lain, namun juga penuh dengan “CERITA PENCURIAN BENDA- BENDA BUDAYA DAN SEJARAHNYA”.
Benda-benda khasanah warisan budaya ini mereka angkut ke Eropa untuk memuaskan hasrat para pembesar-pembesar kolonialisme, dan para peneliti tanah jajahan yang bermoral rendah. Karena itulah, tidak mengherankan saat ini banyak artefak-artefak Indonesia, umumnya berasal dari masa kerajaan Hindu-Buddha, bisa ditemukan di banyak museum di Eropa.
“Ingat! Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya” itulah ucapan dari seorang bapak republik yang bernama Tan Malaka, yang menurut catatan artikel detikedu, “Dampak Kolonialisme di Indonesia, dari Bidang Politik Hingga Pendidikan”, sekirannya dapat menjelaskan kenapa kolonialisme tersebut mempunyai dampak begitu besar pada negeri ini:
1. Dampak bidang politik: Ketika kolonialis Belanda dan Inggris berurusan dengan masalah kerajaan, mereka mengubah dinamika politik Indonesia dengan mengontrol pergantian tahta kerajaan, mengurangi peran elit kerajaan dalam politik, dan bahkan menghancurkan kekuasaan pribumi. Sistem pemerintahan diubah oleh kolonialis seperti Daendels dan Raffles dengan mengubah para bupati menjadi pegawai negeri yang digaji, meskipun sebelumnya mereka memiliki kedudukan turun-temurun, dan mendapat upeti dari rakyat. Ini menjadikan para bupati sebagai alat kekuasaan kolonial, menggantikan adat istiadat. Jawa dijadikan pusat pemerintahan dan dibagi menjadi wilayah prefektur.
Sistem hukum Barat modern menggantikan hukum adat. Kebijakan raja juga dipengaruhi oleh Belanda. Kebijakan politik Pax Neerlandica pada akhir abad ke-19, dan awal abad ke-20 mengubah politik pemerintahan dengan menjadikan Jawa sebagai pusat pemerintahan dan pembagian wilayah perfektuf.
Pemerintahan modern Indonesia masih dipengaruhi oleh filosofi Trias Politica yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan badan yudikatif dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan golongan masyarakat (Eropa, Timur Asing, dan Pribumi), dan Dewan Rakyat didirikan pada tahun 1918.
2. Dampak kolonialisme di bidang budaya: Pemerintah kolonial menggunakan bahasa Belanda, yang memengaruhi perkembangan bahasa di Indonesia. Kita memiliki banyak kata serapan dari bahasa Belanda, Portugis, dan Inggris, seperti handuk dari handdoek, sepatu dari sepato, dan buku dari book.
Selain kosakata, kedatangan bangsa Eropa juga memperkenalkan hal-hal baru ke Indonesia, seperti musik internasional, tarian, dan bangunan bersejarah. Contohnya adalah Lawang Sewu di Kota Tua, sebuah gedung bersejarah yang awalnya digunakan sebagai kantor pusat perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij.
3. Dampak kolonialisme di bidang sosial: Munculnya berbagai golongan sosial, termasuk golongan pribumi, golongan timur asing (Seperti orang Cina dan Timur Jauh), golongan Eropa (Terutama Belanda), dan golongan pribumi. Meningkatnya mobilitas sosial yang diakibatkan karena adanya transmigrasi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan yang dibuka oleh Belanda di luar Jawa.
Terbentuknya golongan buruh dan majikan karena perkembangan pabrik dan perusahaan, yang membuat masyarakat Indonesia terlibat dalam pekerjaan yang lebih dinamis. Sebagai tanggapan terhadap kebutuhan karyawan pemerintah, elit terdidik mendirikan sekolah di berbagai kota. Mereka memainkan peran penting dalam pembentukan pergerakan nasional.
Terbentuknya hirarki status sosial dengan golongan Eropa berada di puncak, diikuti Asia dan Timur, sementara kaum pribumi berada di posisi terendah. Maka, terjadi penindasan dan pemerasan yang keras, dan kebiasaan Indonesia diganti oleh kebiasaan pemerintah Belanda.
Isolasi daerah Indonesia di laut memengaruhi kehidupan pedalaman dan menyebabkan budaya feodalisme, di mana penduduk pribumi tunduk pada tuan tanah asing, baik dari Barat maupun Timur, sehingga kehidupan penduduk Indonesia mengalami kemunduran.
4. Dampak kolonialisme di bidang ekonomi: Penjajah memonopoli wilayah, sehingga menyebabkan gangguan dalam perdagangan. Perekonomian mengalami transformasi dari sektor pertanian pangan ke sektor perkebunan.
Perdagangan internasional di nusantara terganggu oleh monopoli perdagangan VOC.
VOC menggunakan penguasa konvensional untuk mengeksploitasi tanah jajahan dan mengambil hasil bumi. Sistem tanam paksa mengenalkan tanaman baru dan mendukung pedagang asing dalam perdagangan internasional, sedangkan penduduk Indonesia hanya berperan sebagai pengecer. Dan adanya pembentukan sistem ekonomi uang yang memiliki efek negatif terhadap ekonomi, seperti sistem utang dengan bunga yang merugikan.
5. Dampak kolonialisme di bidang pendidikan: Belanda mendirikan sistem pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan pegawai administrasi yang akan membantu pemerintahan kolonial mereka. Mereka berusaha untuk membuat birokrasi yang murah, mahir, dan terdidik. Pendidikan di Indonesia diatur oleh pemerintah Belanda, sehingga tidak ada pengaruh pada budaya dan kemajuan pendidikan Indonesia. Akibatnya, pendidikan terkesan lebih mencerminkan kepentingan politik dan budaya Belanda daripada kebutuhan lokal.
Belanda menerapkan pendidikan yang hanya tersedia bagi masyarakat dengan status sosialnya. Ini menciptakan kesenjangan pendidikan dan kesempatan antara kelompok masyarakat yang berbeda.
Rahadian Rundjan kembali menjelaskan dalam tulisannya di DWnesia, bahwa mengapa hal ini bisa terjadi?
Karena ketika orang-orang Eropa mulai mendatangi nusantara pada abad ke-16, mereka menjumpai sebuah kelompok masyarakat yang gaya hidup, dan kepercayaannya belum lama bertransformasi. Struktur masyarakat yang beberapa abad sebelumnya dipengaruhi corak Hindu-Buddha mulai ditinggalkan setelah Islam menyebar dan mendominasi. Dalam ajaran Islam, pemujaan benda mati, apalagi yang menyerupai manusia (patung), adalah hal terlarang. Perubahan ini menyebabkan masyarakat Islam nusantara perlahan-lahan mulai mengambil jarak, walau tidak melepaskan sepenuhnya, kedekatannya dengan benda-benda peninggalan masa Hindu-Buddha seperti arca-arca pemujaan dan candi-candi, terutama di Jawa.
Perhatian terhadap benda-benda budaya dan sejarah Jawa mulai meningkat sejak abad ke-19. Menurut Marieke Bloembergen dan Martijn Eickhoff dalam bukunya yang meriset sejarah interaksi dan pertukaran pengetahuan terkait benda-benda budaya dan sejarah di Indonesia, The Politics of Heritage, ketertarikan tersebut salah satunya dipelopori Raffles, yang berkuasa di Jawa atas nama Inggris, dan bukunya yang terkenal, History of Java. Berkat bukunya tersebut, benda-benda bercorak Hindu-Buddha di Jawa menarik perhatian di Eropa, Asia, juga Amerika.
Pendataan dan penggalian di Jawa pun menjadi lumrah dilakukan, baik oleh Inggris ataupun Belanda setelahnya. Terutama Belanda, yang mereorganisasi koloninya dari wilayah dagang menjadi negara jajahan. Mereka memprioritaskan penggalian arkeologi sebagai cara melegitimasi kekuasaan dan supremasi politiknya, juga untuk keperluan ilmu pengetahuan, karena semakin banyak peneliti-peneliti Eropa yang bekerja di Jawa. Atas dasar itulah, candi-candi di Jawa yang sebelumnya tidak dirawat, seperti Prambanan, atau keberadaannya telah terlupakan oleh orang-orang setempat, seperti Borobudur, mulai digali dan diteliti dengan intens.
Dalam situasi itulah, para oportunis muncul. Mereka berupaya mengambil benda-benda yang bisa diangkat, seperti artefak, patung, dan lain-lain, dan mengirimnya ke negeri induk. Ada yang melakukannya dengan cara meminta kepada penduduk setempat yang tidak mengetahui nilai budaya dan sejarah benda tersebut. Pencurian halus ini misalnya dilakukan Wallace, naturalis Inggris, ketika singgah ke lokasi reruntuhan di Mojokerto.
Ada juga yang terang-terangan merampok, seperti Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles yang juga menjabat sebagai Direktur Batavian Society of Arts and Sciences, bersama pasukan India-nya saat itu menyerbu Keraton Yogyakarta pada 1812 dan menjarah harta bendanya, terutama manuskrip-manuskrip keraton, selama berhari-hari.
Itu menjawab pertanyaan mengapa saat ini banyak benda-benda budaya dan sejarah Indonesia dapat ditemukan di museum-museum di Belanda dan Inggris. Sebagian besar yang terpajang di sana adalah hasil jarahan, atau pemberian dari raja-raja lokal yang tidak mengapresiasi nilai luhur benda-benda tersebut selain sebagai hadiah untuk menyenangkan hati tuan-tuan kulit putihnya.
Setelah Indonesia merdeka, tuntutan untuk mengambilnya kembali menjadi semakin besar, karena orang-orang republik menganggapnya sebagai bagian dari harta kekayaan dan inspirasi bagi identitas nasionalisme, serta jejak intelektualisme, bangsa Indonesia.
Upaya pengembalian tersebut, atau repatriasi, sudah diupayakan sejak tahun 1950-an. Belanda menjadi negara yang paling sering mengembalikan benda-benda hasil jarahannya di Indonesia. Seperti pada 2020 lalu, sekitar 1500 direpatriasi, menyusul kemudian pengembalian keris Pangeran Diponegoro ketika raja Belanda, Willem, berkunjung ke Indonesia. Seiring berkurangnya dana pemerintah Belanda untuk merawat museum- museumnya, upaya repatriasi ini diperkirakan akan semakin meningkat ke depannya. Sehingga persoalan selanjutnya adalah memastikan bahwa Indonesia sudah harus menyediakan tempat penampungannya yang layak.
Sekitar pertengahan 2021 lalu, dunia sejarah dan arkeologi Indonesia mendapatkan kabar bahagia. Tiga arca Hindu yang dijarah dan diseludupkan ke Amerika Serikat berhasil dikembalikan ke Indonesia. Pelakunya adalah seorang Amerika, Subhash Kapoor, yang juga terlibat dalam jaringan perdagangan barang antik. Selain arca Siwa, Parvati, dan Ganesha yang kembali ke Indonesia, komplotan Subhash juga disebutkan menjarah, menyeludupkan, menjual secara ilegal, benda-benda budaya bernilai serupa dari berbagai negara di Asia, seperti Afghanistan, Thailand, India, dan lain-lain. Nilainya sekitar 143 juta dollar AS.
Kasus Subhash bukanlah hal baru, dan saya yakin tidak akan menjadi yang terakhir mengingat masih lemahnya upaya proteksi terhadap benda-benda bernilai budaya dan sejarah di Indonesia selama ini. Meskipun ada, penerapannya di lapangan masih impoten, dan mirisnya, orang-orang yang membuka jalan bagi penyeludup seperti Subhash biasanya adalah orang-orang Indonesia sendiri. Dengan memanfaatkan kelengahan aparat dan para penelitinya, para pencuri ini beraksi diam-diam di situs-situs arkeologi. Hal serupa juga banyak terjadi di museum-museum di Indonesia, dan sulit untuk dideteksi.
Fenomena pencurian tersebut didasarkan atas sekian motif. Bagi para pelaku yang orang Indonesia, jawabannya adalah uang, karena mereka biasanya hanya menjadi perantara bagi para kolektor atau penyeludup ke luar negeri. Kolektor, terutama di luar negeri, umumnya didorong oleh seleranya terhadap hal-hal antik, walau harus memakai cara-cara ilegal. Namun dahulu, ada pula orang-orang yang merasa bahwa karena peradabannya menguasai pengetahuan yang unggul, lantas merasa berhak menjarah dan meneliti peradaban lain. Apalagi ketika benda-benda yang diteliti tidak dikembalikan: inilah sisi lain kolonialisme.
Contoh Koleksi Museum Rautenstrauch-Joest merupakan salah satu museum antropologi terlengkap di Jerman. Di dalamnya, banyak ditemukan koleksi barang-barang yang berasal dari Indonesia Artefak Indonesia.
Rekomendasi dan penutup
Untuk mencegah pencurian khasanah warisan budaya ini, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain seperti:
1. Dengan segera mulai melakukan edukasi gerakan Repatriasi warisan budaya pada Publik sehingga memahami tujuan dan manfaat dari khasanah warisan budaya
2. mendorong kehadiran Negara, dalam menjalankan instrument repatriasi secara maksimal, sehinga mampu menggerakan SOP warisan benda budaya, yang akhirnya mampu memanfaatkan koneksi diplomatik dengan baik, karena ini adalah hak negara untuk hadir menyelesaikannya secara tuntas.
3. Segeralah instansi terkait seperti museum ataupun arsip melakukan validasi data pemulangan warisan budaya.
4. Semoga Dirjen Kebudayaan terutama Direktorat Perlindungan Budaya segera melakukan pengkajian (penelitian) pada naskah-naskah warisan budaya, sehingga dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh generasi muda.
5. Semoga Kementerian Kreatif mampu membangun hubungan budaya dengan masyarakat, sehingga perjuangan untuk mempertahankan transfer pengetahun antar-generasi. Sehingga dapat mengurangi pengakuan, peniruan gaya dan tematik, penyalahgunaan reproduksi, dan distribusi oleh pihak yang tidak sah, dan klaim asing terhadap warisan budaya Indonesia.
6. Semoga Kementerian Pendidikan mampu mendorong pelestarian warisan budaya secara signifikansi sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang masalah ini, dan terciptalah kesadaran tentang pentingnya menjaga identitas budaya bangsa di dunia global.
7. Dan kita berharap banyak untuk musium agar melakukan pemaksimalan tupoksi (Tugas dan Pokok serta fungsinya), sebab ada fenomena kriminalitas di museum dan tempat-tempat cagar budaya, dikarenakan orang-orang Indonesia masih belum bisa menghargai benda-benda budaya dan sejarahnya. Penemuan situs-situs arkeologi baru bukan hanya membuka kesempatan bagi arkeolog dan sejarawan untuk membuka tabir sejarah baru, namun juga bagi warga setempat untuk menjarah dan menjual temuan-temuannya secara ilegal. Hal tersebut telah menjadi masalah besar, misalnya, di situs Trowulan (Majapahit), Jawa Timur, selama bertahun-tahun. Dengan bantuan teknologi, di sini benda-benda tersebut juga harus disimpan secara layak dan diberikan narasi sehingga semua kandungan intelektual dan pengetahuan di dalamnya bisa dikonsumsi publik. Bukan sekedar dipajang secara kaku, seperti bagaimana Indonesia memperlakukan banyak koleksi-koleksi museumnya selama ini.
Semua hal di atas selaras dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dijelaskan bahwa dalam upaya peningkatan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, dan penyelamatan. Setiap warga negara dapat berperan aktif dalam pemajuan kebudayaan. Sepuluh objek pemajuan kebudayaan tersebut adalah tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, dan bahasa.