JAKARTA, SEDULANG – Apresiasi diberikan trah Sri Sultan Hamengkubuwono II (Sultan HB II) atas penyelenggaraan Forum Diskusi Kelompok Terpumpun bersama dengan Trah Sri Sultan Hamengkubuwono II pada 27-29 Maret 2024.
Apresiasi dan rasa terima kasih, juga diberikan Trah Sultan HB II kepada Komisi X DPRI RI, khususnya dari Fraksi Partai Gerindra yang meminta Kemendikbudristek untuk menindaklanjuti surat yang disampaikan Trah Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Melalui forum ini, katanya, menunjukkan respons negara terhafdap suara generasi Sultan HB II yang menginginkan kembalinya aset dan manuskrip asli sang Raja yang dicuri oleh kerajaan Inggris semasa terjadinya peristiwa Geger Sepehi 1812.
“Kami berharap 7.500 naskah dan artefak yang dirampas saat peristiwa Geger Sapehi 1812 dapat dikembalikan Inggris dalam bentuk yang asli bukan digital. Salah satu manuskrip yang ditulis eyang kami adalah Serat Suryo Rojo,” ujar Fajar Bagoes Poetranto, perwakilan dari keluarga besar Trah Sultan HB II dalam rilis yang diterima Sedulangcom, Jumat (29/3/2024).
Manuskrip ini (Serat Suryo Rojo) berisi tentang tuntunan kepemimpinan Kesultanan dalam meletakkan dasar konstitusi (paugeran) Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kembali diungkapkan Bagoes, serat Suryaraja ditulis dan diselesaikan sendiri oleh Sri Sultan HB II saat masih menjadi Pangeran Adipati Anom.
“Serat Suryaraja dibuat dengan merujuk pada serat Bustanus Salatin Jawi, serat Tapel Adam, serat Tajus Salatin Jawi, serat Ambya, dan serat Makutaraja. Serat Suryaraja inilah yang digunakan sebagai rujukan saat beliau naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II,” jelas Bagoes.
Bagoes menambahkan, aset dan manuskrip milik Sultan HB II tidak hanya penting bagi keluarga besarnya, tetapi juga merupakan warisan budaya Indonesia yang dapat dimanfaatkan bagi generasi muda penerus bangsa.
”Sangat ironi sekali jika warisan budaya milik Sri Sultan HB II saat ini masih ada di Inggris. Apalagi, saya mendapat informasi dari para peneliti ilmu pengetahuan peradaban Jawa, bahwa mereka harus menyediakan deposit awal sebesar 2 miliar sebagai jaminan kepada Museum Inggris, jika ingin meneliti manuskrip-manuskrip yang ada di sana,” ujarnya.
“Kemudian, dikenakan lagi biaya puluhan hingga ratusan juta jika ingin mengambil informasi dari naskah-naskah kuno milik Eyang kami yang dirampas Inggris saat peristiwa Geger Sepehi 1812,” ungkap Bagoes.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Yayasan Nusantaram Eva Raksamahe Suharno, dalam forum diskusi itu menyampaikan pendapatnya. Ia menyebutkan, repatriasi warisan budaya Sultan HB II sangat penting, karena merupakan Nation Rigth (Haknya Negara).
“Manuskrip milik Sri Sultan HB II penting untuk identitas jati diri bangsa yang akan memperkokoh nasionalisme, sekaligus membangkitkan, dan menggelorakan semangat kita sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya,” ucapnya.
Apalagi, katanya, repatriasi benda-benda tersebut berkaitan dengan kelangsungan budaya masyarakat adat, dan memberikan kontribusi terhadap perlindungan, pembangunan budaya nasional Indonesia yang berdampak besar pada sektor ekonomi, sosial, dan budaya yang multikultur ini.
“Perlu disadari bahwa repatriasi warisan budaya merupakan pembentukan identitas kesejarahan Indonesia. Oleh karena itu, baik manuskrip, artefak, serta benda sejarah yang beraksara nusantara, termasuk yang beraksara Jawa, dapat memperkuat agenda strategis Ipoleksosbud Hankam,” tambahnya.
Suharno mengingatkan, pengembalian barang repatriasi warisan Budaya Sri Sultan HB II, dapat memberikan kontribusi terkait pembalajaran, pemahaman berbagai sastra Jawa kuno, dan filologi, sejarah peradaban nusantara.
“Karena ini merupakan kode kekuatan dalam pertahanan geografis nusantara untuk mengelola linimasa keberlanjutan Tanah Air Indonesia sebagaimana Resolusi Jombor (30 Maret 2021),” pungkasnya. (*)